Posted by media itsar | Posted in SMP 5 (Rohani 554)
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Tulisan ini adalah kisah nyata dari seorang dokter dari Bandung, Dr.Dadang Rukanta yang tergabung direlawan Tim Bulan Sabit Merah Indonesia saat beliau mengunjungi Gaza Januari-Februari 2009. Hari ini tepat setahun Israel menggempur Gaza melalui darat, laut dan udara dalam operasi "Cast Lead" yang menggemparkan dunia itu. Semoga ada hikmah yang bisa kita petik
Keberangkatan
Suatu yang mengejutkan ketika saya dihubungi untuk bersiap siap menjadi relawan Bulan Sabit Merah Indonesia ke Gaza Palestina yang porak poranda karena agresi Israel. Bagaimana tidak mengejutkan karena hanya dalam tiga hari dari saya mengajukan bersedia menjadi relawan sudah ada kabar akan keberangkatan, padahal saat itu untuk mendapatkan visa ke Mesir-negara yang akan menjadi pintu masuk ke Gaza- sangat sulit. Barangkali ini memang pertolongan Allah dan kemudahan yang diberikan untuk niat baik kami ini.
Kami berangkat hari sabtu tanggal 24 Januari 2009 pukul delapan malam dengan Singapore airlines. Seluruhnya kami ada 15 orang yang terdiri dari 8 orang dokter dari berbagai keahlian, Bedah Orthopaedi, Dr.Basuki Supartono dan Dr.dadang Rukanta, Bedah Umum, Dr Sahudi, Kandungan, Dr.Prita, Ahli Mata, Dr.Jamaludin, Ahli Anesthesi, Dr.Ki Agus Erick, Ahli Jiwa Dr.Fuady Yatim, dan Dokter Umum dengan avasin, Dr.Adang Sudrajat. Dua orang tenaga logistic, Pak Jalaludin dan Pak Mohamad Rudi, sedangkan 5 orang yang lain terdiri dari Baznas 2 orang dan Kispa 3 orang yang menumpang visa dgn tim BSMI. Tadinya direncanakan setelah konperesi pers di Markas BSMI pusat Jl.Dewi Sartika, tim akan dilepas oleh Menkes di Bandara Sukarno-Hatta, tetapi karena padatnya waktu Menkes yang saat itu baru tiba bandara dari tugas luar tidak sempat melepas kami. Kami melakukan boarding agak terburu-buru karena menunggu kepastian tadi. Jadinya kami dilepas sejumlah rekan wartawan yang setia mengantar keberangkatan kami. Karena terburu-buru itulah satu tas kecil berisi baju dan rompi BSMI tertinggal di Bandara.
Perjalanan dengan SQ mengharuskan transit di Bandara Changi Singapura. Kami transit sekitar tiga jam. Kami tiba di singapura sekitar pukul 11 malam waktu setempat yang lebih maju satu jam dari Jakarta. Dan kami akan terbang lagi langsung ke Kairo pukul 2 dini hari. Selama waktu transit kami manfaatkan untuk istirahat karena persiapan yang cukup melelahkan, apalagikebanyakan tim ini datang dari berbagai daerah seperti Lampung, Bandung, Surabaya dan Madura.
Tepat pukul 2.20 dini hari kami bertolak dari bandara Changi dengan tujuan langsung ke Kairo. Ini merupakan penerbangan langsung non stop selama kurang lebih 10 jam. Sudah dapat kami bayangkan akan menjadi perjalanan yang melelahkan dan panjang. Apalagi masih harus dilanjutkan dengan perjalanan darat Kairo-Raafah border dan Gaza. Perjalanan panjang ke Gaza sebenarnya baru dimulai, meski rasa lelah sudah mulai menyelimuti karena persiapan yang cukup singkat.
Selama dalam perjalanan di pesawat, kami mencoba untuk memanfaatkan waktu untuk istirahat, karena kami tahu perjalanan yang berat justru saat Kairo ke perbatasan Raafah dan saat mengusahakan bisa masuk ke Gaza lewat Raafah. Menurut informasi banyak relawan yang tertahan sampai satu minggu di perbatasan Rafah untuk bisa masuk Gaza. Alhamdulillah dengan servis yang baik dan kabin cukup nyaman kami dapat sedikit beristirahat.
Tiba di bandara Kairo hari masih pagi, sekitar pukul 6.50 waktu Kairo ini berarti pukul 11.50 waktu indonesia bagian barat, perbedaan waktunya memang cukup lebar sekitar 5 jam. Di Caro sedang musim dingin, terasa udara menusuk tubuh yang belum beradaptasi, tapi cukup nyaman karena tidak berkeringat . Disini kelembabanya sangat rendah. Kami dijemput tim dari Kairo yang merupakan para relawan mahasiswa Al Azhar yang sudah fasih berbahasa Arab. Menggunakan minibus Hijet, kami berangkat menuju wisma Nusantara tempat kami akan transit.
(Bersambung -> Catatan Perjalanan #2)
oleh M.K ZiyanulHaq
Tulisan ini adalah kisah nyata dari seorang dokter dari Bandung, Dr.Dadang Rukanta yang tergabung direlawan Tim Bulan Sabit Merah Indonesia saat beliau mengunjungi Gaza Januari-Februari 2009. Hari ini tepat setahun Israel menggempur Gaza melalui darat, laut dan udara dalam operasi "Cast Lead" yang menggemparkan dunia itu. Semoga ada hikmah yang bisa kita petik
Keberangkatan
Suatu yang mengejutkan ketika saya dihubungi untuk bersiap siap menjadi relawan Bulan Sabit Merah Indonesia ke Gaza Palestina yang porak poranda karena agresi Israel. Bagaimana tidak mengejutkan karena hanya dalam tiga hari dari saya mengajukan bersedia menjadi relawan sudah ada kabar akan keberangkatan, padahal saat itu untuk mendapatkan visa ke Mesir-negara yang akan menjadi pintu masuk ke Gaza- sangat sulit. Barangkali ini memang pertolongan Allah dan kemudahan yang diberikan untuk niat baik kami ini.
Kami berangkat hari sabtu tanggal 24 Januari 2009 pukul delapan malam dengan Singapore airlines. Seluruhnya kami ada 15 orang yang terdiri dari 8 orang dokter dari berbagai keahlian, Bedah Orthopaedi, Dr.Basuki Supartono dan Dr.dadang Rukanta, Bedah Umum, Dr Sahudi, Kandungan, Dr.Prita, Ahli Mata, Dr.Jamaludin, Ahli Anesthesi, Dr.Ki Agus Erick, Ahli Jiwa Dr.Fuady Yatim, dan Dokter Umum dengan avasin, Dr.Adang Sudrajat. Dua orang tenaga logistic, Pak Jalaludin dan Pak Mohamad Rudi, sedangkan 5 orang yang lain terdiri dari Baznas 2 orang dan Kispa 3 orang yang menumpang visa dgn tim BSMI. Tadinya direncanakan setelah konperesi pers di Markas BSMI pusat Jl.Dewi Sartika, tim akan dilepas oleh Menkes di Bandara Sukarno-Hatta, tetapi karena padatnya waktu Menkes yang saat itu baru tiba bandara dari tugas luar tidak sempat melepas kami. Kami melakukan boarding agak terburu-buru karena menunggu kepastian tadi. Jadinya kami dilepas sejumlah rekan wartawan yang setia mengantar keberangkatan kami. Karena terburu-buru itulah satu tas kecil berisi baju dan rompi BSMI tertinggal di Bandara.
Perjalanan dengan SQ mengharuskan transit di Bandara Changi Singapura. Kami transit sekitar tiga jam. Kami tiba di singapura sekitar pukul 11 malam waktu setempat yang lebih maju satu jam dari Jakarta. Dan kami akan terbang lagi langsung ke Kairo pukul 2 dini hari. Selama waktu transit kami manfaatkan untuk istirahat karena persiapan yang cukup melelahkan, apalagikebanyakan tim ini datang dari berbagai daerah seperti Lampung, Bandung, Surabaya dan Madura.
Tepat pukul 2.20 dini hari kami bertolak dari bandara Changi dengan tujuan langsung ke Kairo. Ini merupakan penerbangan langsung non stop selama kurang lebih 10 jam. Sudah dapat kami bayangkan akan menjadi perjalanan yang melelahkan dan panjang. Apalagi masih harus dilanjutkan dengan perjalanan darat Kairo-Raafah border dan Gaza. Perjalanan panjang ke Gaza sebenarnya baru dimulai, meski rasa lelah sudah mulai menyelimuti karena persiapan yang cukup singkat.
Selama dalam perjalanan di pesawat, kami mencoba untuk memanfaatkan waktu untuk istirahat, karena kami tahu perjalanan yang berat justru saat Kairo ke perbatasan Raafah dan saat mengusahakan bisa masuk ke Gaza lewat Raafah. Menurut informasi banyak relawan yang tertahan sampai satu minggu di perbatasan Rafah untuk bisa masuk Gaza. Alhamdulillah dengan servis yang baik dan kabin cukup nyaman kami dapat sedikit beristirahat.
Tiba di bandara Kairo hari masih pagi, sekitar pukul 6.50 waktu Kairo ini berarti pukul 11.50 waktu indonesia bagian barat, perbedaan waktunya memang cukup lebar sekitar 5 jam. Di Caro sedang musim dingin, terasa udara menusuk tubuh yang belum beradaptasi, tapi cukup nyaman karena tidak berkeringat . Disini kelembabanya sangat rendah. Kami dijemput tim dari Kairo yang merupakan para relawan mahasiswa Al Azhar yang sudah fasih berbahasa Arab. Menggunakan minibus Hijet, kami berangkat menuju wisma Nusantara tempat kami akan transit.
(Bersambung -> Catatan Perjalanan #2)
oleh M.K ZiyanulHaq
banyak artikel yang bagus di blog ini
terimakasih gan