Posted by media itsar | Posted in SMP 5 (Rohani 554)
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Tulisan ini adalah kisah nyata dari seorang dokter dari Bandung, Dr.Dadang Rukanta yang tergabung direlawan Tim Bulan Sabit Merah Indonesia saat beliau mengunjungi Gaza Januari-Februari 2009. Hari ini tepat setahun Israel menggempur Gaza melalui darat, laut dan udara dalam operasi "Cast Lead" yang menggemparkan dunia itu. Semoga ada hikmah yang bisa kita petik
Catatan sebelumnya: http://www.facebook.com/note.php?note_id=308668202917
Diri ini Menjadi Saksi: Kota Gaza yang Dirundung Pilu
Hari kedua kami menunggu di Raafah, diliputi rasa optimisme, setelah shubuh berjamaah di masjid agungnya El Arish, yang dingin dan berkabut tipis.
Selepas sarapan roti mesir -Ish- dan hangatnya teh, kami berangkat menembus dinginnya El Arish. Perjalanan sampai Raafah border tidak banyak halangan, karena masih sepi dan sudah pernah melalui jalan yang sama. Sampai Raafah border sekitar jam 9 pagi, masih lenggang, ada beberapa teman yang kemarin menunggu berusaha negosiasi untuk bisa masuk. Tim kami hari ini diperkuat Ustadz Haris dan Ustadz Aji. Seluruh tim saat ini full 18 orang setelah bergabungnya ikhwan dari Baznas (Badan Zakat Nasional) dan Kispa (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina) . Tim lain menunggu dengan rasa optimis selepas shalat subuh kemarin. Semua diminta standby takut tiba-tiba dipanggil, atau ada perubahan kondisi yg bisa berubah tiba-tiba. Birokrasi mesir memang terkenal dengan kerumitan dan perubahan yang tiba-tiba.
Ba’da dzuhur masih belum ada kejelasan, sehingga ingin shalat pun agak ragu. Tetapi setelah beberapa lama masih menunggu kami shalat bergilir jama qoshor dan untuk mengganjal perut yang mulai protes kami ambil perbekalan kami untuk di Gaza nanti, makan ‘zinnee’ popmie mesir dengan rasa kari dan mienya besar-besar. Terasa nikmat meski hanya pop mie, nungkin karena hawa dingin dan memang kami sudah lapar sekali.
Menjelang ashar tiba-tiba ada panggilan, ” Hilah Ahmar (organisasi kami -dalam bahasa arab) masuk”; katanya, kami sejenak tertegun, tidak percaya.. setelah lama menunggu yang sebenarnya tidak selama rekan-rekan kami yang sudah tiga-empat hari bolak-balik. Subhanallah ini rizqi dan berkah Allah. Kami segera masuk satu-satu, beruntung barang-barang pribadi sudah kami susun dengan roda dorong bersama seorang mesir. Satu persatu kami masuk, melalui pintu pagar sempit, satu, dua, tiga….. empat belas, enam belas, tujuh belas… lho kemana satu lagi, kemana seorang lagi, siapa? Kami cek satu persatu, tenyata Dr.Fuadi. “Dr.Fuadi tadi izin ke hamam”; kata Dr.Erik. Segera kami minta ikhwan mahasiswa yg masih di luar untuk mencari dan menyusul. Kami menunggu.. cemas khawatir gara-gara menunggu atau kurang, petugas mesir membatalkan melintasi perbatasan. Setelah kurang lebih 5 menit diliputi cemas dan waswas yang hampir menguras kegembiraan kami tadi saat dipanggil tiba-tiba menyeruak mujahid kita paling sepuh yang masih bersemangat, Alhamdulillah Dr.Fuadi muncul, rupanya beliau memang harus ke hamam karena mendesak. Dan Alhamdulillah petugas mesir tidak jadi masalah.
Kami berjalan perlahan, sambil melihat situasi di dalam border. Tampak Ambulan kami masih terparkir, beberapa tim kami mengambil barang-barang yang tersimpan di mobil KBRI yang parkir di luar.
Di Dalam imigrasi kami lakukan prosedur seperti layaknya keluar dan masuk imigrasi. Isi kartu kedatangan ke Palestina. “Alhmadulillah “ kata ustadz Ostman, “Insha Allah kita masuk tinggal nunggu di cap imigrasi.”
Sekitar 15 mnt kami diminta berjalan masuk, melewati imigrasi Palestina, membayar 91 poud per orang untuk transportasi. Bus di luar sudah menunggu, segera kami angkut barang-barang masuk bus. Menunggu sejenak bus berjalan keluar meinggalkan kompleks border Raafah…. Subhanallah akhirnya kami menginjak tanah Palestine, Gaza yang 3 hari kebelakang masih diliputi keraguan bisa kami masuki.
Tiba-tiba Bus berhenti setelah berjalan kurang lebih 100 meter, masih di area bangunan sekitar Raafah, kami diminta turun dan bawa paspor menuju satu bangunan kantor. Penuh tanda tanya kami turun. “Ada apa”, kata beberapa anggota tim. “Jalan saja. kita diminta imigrasi…”, kata salah seorang dari tim. Rupanya kita diminta masuk ke kantor imigrasi Palestine, kehangatan terasa, keramahan terlihat dari petugas yang menyambut kami di pintu, rupanya mereka para pegawai Palestina yang akan menyambut kami. Paspor kami dikumpulkan untuk dicap imigrasi, tidak tampak kesulitan dan birokrastis, sungguh berbeda dgn diperbatasan Mesir tadi, dan Subhanallah rupanya kami disambut jubir PM Hamas di Gaza Ikhwah Abd. Gazi. Penuh kehangatan dan rasa terimakasih beliau menyambut kami, dan kami akan ditempatkan sesuai dengan keahlian masing-masing. Kami akan diantar ke tempat penginapan dan juga sangat menghargai bantuan yang telah diberikan. Jauh berbeda dengan di Raafah, kehangatan dan senyum senantiasa tampak, sehingga kami merasa aman dan tambah semangat untuk bekerja berjihad dengan keahlian masing-masing dan menyampaikan amanat rakyat indonesia.
Di perjalanan yang tampak memang lebih ramah dan hijau, sisa-sisa bangunan hancur terkena bom kami lewati. Anak-anak pulang sekolah tampak berbaris seakan bukan masa perang. Memang bagi mereka perang ini sudah sangat lama sehingga perang dan konflik dgn Israel menjadi bagian dari keseharian mereka, rakyat Palestina memang Muslim yang tabah. Beberapa bagian yang kami lewati memang subur tampak perkebunan jeruk siap panen yang terhampar luas diselingi tanah-tanah berlubang dan bangunan hancur bekas hantaman bom.
Sekitar 30 menit kami sampai di RS Shifa-RS terbesar di Jalur Gaza- tiba pula rombongan Ambulan dengan muatan bantuan kami. Hari menjelang Maghrib disini waktu shalat lebih awal beberapa menit dibanding Mesir karena lebih timur. Kami disambut perwakilan Rumah Sakit dan juga staff dari kementrian kesehatan. Dijelaskan tentang rencana dan data kami, sehingga Insha Allah tenaga dan bantuan kami akan bermanfaat.
(Bersambung -> Catatan Perjalanan #5)
Tulisan ini adalah kisah nyata dari seorang dokter dari Bandung, Dr.Dadang Rukanta yang tergabung direlawan Tim Bulan Sabit Merah Indonesia saat beliau mengunjungi Gaza Januari-Februari 2009. Hari ini tepat setahun Israel menggempur Gaza melalui darat, laut dan udara dalam operasi "Cast Lead" yang menggemparkan dunia itu. Semoga ada hikmah yang bisa kita petik
Catatan sebelumnya: http://www.facebook.com/note.php?note_id=308668202917
Diri ini Menjadi Saksi: Kota Gaza yang Dirundung Pilu
Hari kedua kami menunggu di Raafah, diliputi rasa optimisme, setelah shubuh berjamaah di masjid agungnya El Arish, yang dingin dan berkabut tipis.
Selepas sarapan roti mesir -Ish- dan hangatnya teh, kami berangkat menembus dinginnya El Arish. Perjalanan sampai Raafah border tidak banyak halangan, karena masih sepi dan sudah pernah melalui jalan yang sama. Sampai Raafah border sekitar jam 9 pagi, masih lenggang, ada beberapa teman yang kemarin menunggu berusaha negosiasi untuk bisa masuk. Tim kami hari ini diperkuat Ustadz Haris dan Ustadz Aji. Seluruh tim saat ini full 18 orang setelah bergabungnya ikhwan dari Baznas (Badan Zakat Nasional) dan Kispa (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina) . Tim lain menunggu dengan rasa optimis selepas shalat subuh kemarin. Semua diminta standby takut tiba-tiba dipanggil, atau ada perubahan kondisi yg bisa berubah tiba-tiba. Birokrasi mesir memang terkenal dengan kerumitan dan perubahan yang tiba-tiba.
Ba’da dzuhur masih belum ada kejelasan, sehingga ingin shalat pun agak ragu. Tetapi setelah beberapa lama masih menunggu kami shalat bergilir jama qoshor dan untuk mengganjal perut yang mulai protes kami ambil perbekalan kami untuk di Gaza nanti, makan ‘zinnee’ popmie mesir dengan rasa kari dan mienya besar-besar. Terasa nikmat meski hanya pop mie, nungkin karena hawa dingin dan memang kami sudah lapar sekali.
Menjelang ashar tiba-tiba ada panggilan, ” Hilah Ahmar (organisasi kami -dalam bahasa arab) masuk”; katanya, kami sejenak tertegun, tidak percaya.. setelah lama menunggu yang sebenarnya tidak selama rekan-rekan kami yang sudah tiga-empat hari bolak-balik. Subhanallah ini rizqi dan berkah Allah. Kami segera masuk satu-satu, beruntung barang-barang pribadi sudah kami susun dengan roda dorong bersama seorang mesir. Satu persatu kami masuk, melalui pintu pagar sempit, satu, dua, tiga….. empat belas, enam belas, tujuh belas… lho kemana satu lagi, kemana seorang lagi, siapa? Kami cek satu persatu, tenyata Dr.Fuadi. “Dr.Fuadi tadi izin ke hamam”; kata Dr.Erik. Segera kami minta ikhwan mahasiswa yg masih di luar untuk mencari dan menyusul. Kami menunggu.. cemas khawatir gara-gara menunggu atau kurang, petugas mesir membatalkan melintasi perbatasan. Setelah kurang lebih 5 menit diliputi cemas dan waswas yang hampir menguras kegembiraan kami tadi saat dipanggil tiba-tiba menyeruak mujahid kita paling sepuh yang masih bersemangat, Alhamdulillah Dr.Fuadi muncul, rupanya beliau memang harus ke hamam karena mendesak. Dan Alhamdulillah petugas mesir tidak jadi masalah.
Kami berjalan perlahan, sambil melihat situasi di dalam border. Tampak Ambulan kami masih terparkir, beberapa tim kami mengambil barang-barang yang tersimpan di mobil KBRI yang parkir di luar.
Di Dalam imigrasi kami lakukan prosedur seperti layaknya keluar dan masuk imigrasi. Isi kartu kedatangan ke Palestina. “Alhmadulillah “ kata ustadz Ostman, “Insha Allah kita masuk tinggal nunggu di cap imigrasi.”
Sekitar 15 mnt kami diminta berjalan masuk, melewati imigrasi Palestina, membayar 91 poud per orang untuk transportasi. Bus di luar sudah menunggu, segera kami angkut barang-barang masuk bus. Menunggu sejenak bus berjalan keluar meinggalkan kompleks border Raafah…. Subhanallah akhirnya kami menginjak tanah Palestine, Gaza yang 3 hari kebelakang masih diliputi keraguan bisa kami masuki.
Tiba-tiba Bus berhenti setelah berjalan kurang lebih 100 meter, masih di area bangunan sekitar Raafah, kami diminta turun dan bawa paspor menuju satu bangunan kantor. Penuh tanda tanya kami turun. “Ada apa”, kata beberapa anggota tim. “Jalan saja. kita diminta imigrasi…”, kata salah seorang dari tim. Rupanya kita diminta masuk ke kantor imigrasi Palestine, kehangatan terasa, keramahan terlihat dari petugas yang menyambut kami di pintu, rupanya mereka para pegawai Palestina yang akan menyambut kami. Paspor kami dikumpulkan untuk dicap imigrasi, tidak tampak kesulitan dan birokrastis, sungguh berbeda dgn diperbatasan Mesir tadi, dan Subhanallah rupanya kami disambut jubir PM Hamas di Gaza Ikhwah Abd. Gazi. Penuh kehangatan dan rasa terimakasih beliau menyambut kami, dan kami akan ditempatkan sesuai dengan keahlian masing-masing. Kami akan diantar ke tempat penginapan dan juga sangat menghargai bantuan yang telah diberikan. Jauh berbeda dengan di Raafah, kehangatan dan senyum senantiasa tampak, sehingga kami merasa aman dan tambah semangat untuk bekerja berjihad dengan keahlian masing-masing dan menyampaikan amanat rakyat indonesia.
Di perjalanan yang tampak memang lebih ramah dan hijau, sisa-sisa bangunan hancur terkena bom kami lewati. Anak-anak pulang sekolah tampak berbaris seakan bukan masa perang. Memang bagi mereka perang ini sudah sangat lama sehingga perang dan konflik dgn Israel menjadi bagian dari keseharian mereka, rakyat Palestina memang Muslim yang tabah. Beberapa bagian yang kami lewati memang subur tampak perkebunan jeruk siap panen yang terhampar luas diselingi tanah-tanah berlubang dan bangunan hancur bekas hantaman bom.
Sekitar 30 menit kami sampai di RS Shifa-RS terbesar di Jalur Gaza- tiba pula rombongan Ambulan dengan muatan bantuan kami. Hari menjelang Maghrib disini waktu shalat lebih awal beberapa menit dibanding Mesir karena lebih timur. Kami disambut perwakilan Rumah Sakit dan juga staff dari kementrian kesehatan. Dijelaskan tentang rencana dan data kami, sehingga Insha Allah tenaga dan bantuan kami akan bermanfaat.
(Bersambung -> Catatan Perjalanan #5)
Comments (0)
Posting Komentar
Berikan komentar anda disini JIKA Facebook Comment System tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pada pilihan [Beri komentar sebagai] Pilih "Name/Url" jika ingin berkomentar dengan mencantumkan nama anda.