“Celupan warna Allah, dan siapakah yang lebih baik celupan warnanya dari pada Allah? dan Hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al Baqarah 138)
Bagaikan kain putih yang telah terkena beberapa noda, pribadi-pribadi mukmin kemudian dicuci dengan syahadat yang mereka ikrarkan. Allah kemudian memberi warna dengan celupanNya, celupan warna dengan citarasa illahi yang Maha Tinggi. Jika sang hamba terus menjaga amalan wajibnya, kemudian ia mendekatkan diri dengan amalan sunnah dan nafilahnya, maka celupan warna itu menjadi gerak hidup yang memancarkan kemuliaan dan keagungan.
"...Tidaklah hamba-hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai dibanding hal-hal yang Aku wajibkan. Dan hambaKu akan terus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan nafilah, sampai Aku mencintainya. Maka, apabila aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran dimana ia mendengar dengannya. Aku akan menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya. Aku akan menjadi tangan dimana ia bertindak dengannya, dan Aku akan menjadi kaki dimana ia berjalan dengannya..." (HR Bukhari, dari Abu Hurairah)
Tentang warna warni itu? Ya. Islam tidak menghapus karakter-karakter khas dari pribadi pemeluknya yang tidak bertentangan dengan aqidah. Islam justru membingkainya menjadi kemuliaan karakter yang menyejarah. Bahkan Rasulullah mengatakan, “Khiyaarukum fil jahiliyah, khiyaarukum fil Islam... Orang terpilih kalian di masa jahiliyah akan menjadi orang terpilih pula di masa Islamnya.”
Para sahabat adalah figur-figur menarik yang penuh warna. Menggambarkan sosok mereka sebagai manusia biasa, namun ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam ke-biasa-annya itu.
Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran itu bermula dari satu prinsip yang dipegang teguh. Satu saja, kecil saja. Tetapi istiqamah. Abu Bakar Ash Shidiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Mengapa? Karena teguh untuk yakin pada apa yang berasal dari sisi Allah dan RasulNya. Maka keyakinan itu menjadi sesuatu yang sangat besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing dan iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih berat.” Subhanallah!
Umar Al-Faruq. Ia, sosok yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Allah, jujur pada manusia. Blak-blakkan, keras, tak kenal takut. “Bukankah kita berada diatas kebenaran? Bukankah mereka beradar diatas kebathilan? Bukankah kalau kita mati, kita masuk surga sedang mereka masuk neraka?” Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum muslimin dari Umar, ba’dallah. Da’wah terang-terangan, show of force di Ka’bah, hijrah terang-terangan, dan gemeretaknya gigi orang kafir dan orang munafik. Ia keras. Sangat keras. Tetapi ada saat dimana ialah manusia terlembut; saat memimpin. Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat bagi orang beriman.”
Ustman Dzun Nurain, si pemalu berakhlak mulia. Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Allah. Mandinya Ustman tidak dilakukan kecuali dalam rumah yang terkunci rapat, tertutup semua lubangnya, di kamar yang terlindung dan terkunci, dalam sebuah bilik rapat di kamar itu, dan dipasang selubung kain yang tinggi. Itupun, Ustman masih tak bisa menegakkan punggung karena rasa malu. Ia selalu malu pada Allah. Ia malu, jika nikmat-nikmat Allah tak ia nafkahkan di jalanNya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia malu, jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa peceklik. Maka 1000 unta penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk sementara penduduk Madinah meminum air bacin. Maka dibelinyalah sumur Raumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan Ustman”, sabda sang Nabi, “Apapun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan Ustman semakin merasa malu..
Ali yang ceria. Ceria mengajarinya keberanian untuk tidur menggantikan Rasulullah di saat teror pembunuhan mengepung kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berlari-lari menyusur padang pasir sejauh 400 km untuk hijrah seorang diri dalam kejaran musuh. Ceria mengajarinya berolok-olok pada Amir bin Abdu Wuud, jagoan Quraisy yang menantang perang tanding dalam peristiwa Khandaq. Dan saat tubuh yang besarnya dua kali lipat dirinya itu jatuh terbelah, kaum muslimin pun bertakbir gembira. Dan ia, tetap ceria. Ceria mengajarinya untuk asyik belajar, maka ia menjadi pintu kota ilmu. Ceria -saat sakit mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khaibar, maka jadilah ia pemegang panji yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan RasulNya.
Abu Dujanah memang congkak, tapi ia bingkai kecongkakannya dalam jihad menghadapi musuh-musuh Allah sehingga ia mulia dengan kecongkakannya. Ikat kepala merah, langkah yang angkuh, jalan yang penuh gaya, membuat Rasulullah berkomentar, “Allah membenci yang seperti ini kecuali dalam peperangan di jalanNya!”. Akhirnya, Abu Dujanah meraih kemulian yang ia nantikan, sambutan bidadari surga.
Ada Abu Ubaidah kepercayaan umat ini. Seperti apa orangnya? Rapi jali! Pandai mengadministrasi, cerdas dan adil. Sangat dipercaya, sampai orang-orang Romawi yang beragama Nashrani merindukannanya. Sangat dipercaya, sampai Umar kehabisan akal untuk memintanya keluar dari kota berwabah. Sangat dipercaya, maka begitu sulit mencari penggantinya mengurus Baitul Maal. Ada Az Zubair hawari Rasulullah. Sebuah potret kesetiaan. Dan Thalhah yang perwira, perisai hidup Rasulullah yang di tubuhnya ada tujuh puluh sayatan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah ia, kata Rasulullah, seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi.
Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Ada Khalid, pedang Allah yang senantiasa terhunus. Maka sering, dengan kudanya ia membelah barisan musuh sendiri. Ia pedang Allah, maka tiga belas pedang patah di tangannya pada perang Mu’tah. Ia pedang Allah, yang memang hanya hafal sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan menjadi saksi dihadapan Allah, meski ia mati di ranjang. Ada Hudzaifah, pemegang rahasia-rahasia Rasulullah. Maka ialah intelejen paling gemilang dalam sejarah, yang duduk di hadapan Abu Sofyan, pemimpin musuh. Maka ketika pada Rasulullah manusia bertanya tentang amal-amal yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku-laku yang harus dijauhi. Ia, manusia yang lisannya tak bisa dipaksa berbicara, meski oleh Umar sahabatnya. Ia, pemegang rahasia-rahasia.
Ada lagi yang agung dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada, Ja’far pemilik dua sayap yang terbang kian kemari di surga, Abdullah bin Rawahah yang ranjangnya terbang menghadap Rabbnya. Sa’ad bin Mu’adz yang kenaikan ruhnya membuat ‘Arsyi Allah berguncang, dan Hanzhalah yang dimandikan malaikat.
Ada yang mulia dengan perbuatannya. Usaid bin Hudhair yang tilawahnya didengarkan malaikat, Ibnu Mas’ud yang qiraatnya seperti saat Al-Qur’an diturunkan, Abdurahman bin Auf yang diberkahi dalam shadaqah dan simpanannya, keluarga Abu Thalhah yang membuat Allah takjub, dan Ukasyah yang ingin bersentuh kulit dunia akhirat dengan Rasulullah.
Ada yang pernah berbuat dosa, tapi ia jujur! Ma'iz mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rasulullah mengatakan, "Jika taubatnya dibagi untuk seluruh penduduk Madinah, niscaya mencukupi bagi mereka."
Mereka, manusia-manusia biasa yang istiqamah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Kecenderungan-kecenderungan memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna. Ada canda yang mereka lakukan, sampai saling lempar semangka suatu ketika. Tapi periwayat hadits ini berkomentar, “Mereka adalah laki-laki dalam urusan-urusannya!” Ya, mereka tahu kapan saatnya lempar semangka, dan kapan saatnya lempar lembing untuk menegakkan agama Allah.
Alangkah indah hari-hari mereka. Mari kita berdoa, sebagai orang-orang yang datang sesudah mereka...
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr 10)
Menjadi muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Allah mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta, rahmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi yang memancarkan celupan warna Ilahi, wahai Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang..
(Dikutip dari buku, “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”, Salim A. Fillah, dengan sedikit perubahan)
Bagaikan kain putih yang telah terkena beberapa noda, pribadi-pribadi mukmin kemudian dicuci dengan syahadat yang mereka ikrarkan. Allah kemudian memberi warna dengan celupanNya, celupan warna dengan citarasa illahi yang Maha Tinggi. Jika sang hamba terus menjaga amalan wajibnya, kemudian ia mendekatkan diri dengan amalan sunnah dan nafilahnya, maka celupan warna itu menjadi gerak hidup yang memancarkan kemuliaan dan keagungan.
"...Tidaklah hamba-hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai dibanding hal-hal yang Aku wajibkan. Dan hambaKu akan terus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan nafilah, sampai Aku mencintainya. Maka, apabila aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran dimana ia mendengar dengannya. Aku akan menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya. Aku akan menjadi tangan dimana ia bertindak dengannya, dan Aku akan menjadi kaki dimana ia berjalan dengannya..." (HR Bukhari, dari Abu Hurairah)
Tentang warna warni itu? Ya. Islam tidak menghapus karakter-karakter khas dari pribadi pemeluknya yang tidak bertentangan dengan aqidah. Islam justru membingkainya menjadi kemuliaan karakter yang menyejarah. Bahkan Rasulullah mengatakan, “Khiyaarukum fil jahiliyah, khiyaarukum fil Islam... Orang terpilih kalian di masa jahiliyah akan menjadi orang terpilih pula di masa Islamnya.”
Para sahabat adalah figur-figur menarik yang penuh warna. Menggambarkan sosok mereka sebagai manusia biasa, namun ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam ke-biasa-annya itu.
Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran itu bermula dari satu prinsip yang dipegang teguh. Satu saja, kecil saja. Tetapi istiqamah. Abu Bakar Ash Shidiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Mengapa? Karena teguh untuk yakin pada apa yang berasal dari sisi Allah dan RasulNya. Maka keyakinan itu menjadi sesuatu yang sangat besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing dan iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih berat.” Subhanallah!
Umar Al-Faruq. Ia, sosok yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Allah, jujur pada manusia. Blak-blakkan, keras, tak kenal takut. “Bukankah kita berada diatas kebenaran? Bukankah mereka beradar diatas kebathilan? Bukankah kalau kita mati, kita masuk surga sedang mereka masuk neraka?” Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum muslimin dari Umar, ba’dallah. Da’wah terang-terangan, show of force di Ka’bah, hijrah terang-terangan, dan gemeretaknya gigi orang kafir dan orang munafik. Ia keras. Sangat keras. Tetapi ada saat dimana ialah manusia terlembut; saat memimpin. Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat bagi orang beriman.”
Ustman Dzun Nurain, si pemalu berakhlak mulia. Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Allah. Mandinya Ustman tidak dilakukan kecuali dalam rumah yang terkunci rapat, tertutup semua lubangnya, di kamar yang terlindung dan terkunci, dalam sebuah bilik rapat di kamar itu, dan dipasang selubung kain yang tinggi. Itupun, Ustman masih tak bisa menegakkan punggung karena rasa malu. Ia selalu malu pada Allah. Ia malu, jika nikmat-nikmat Allah tak ia nafkahkan di jalanNya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia malu, jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa peceklik. Maka 1000 unta penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk sementara penduduk Madinah meminum air bacin. Maka dibelinyalah sumur Raumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan Ustman”, sabda sang Nabi, “Apapun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan Ustman semakin merasa malu..
Ali yang ceria. Ceria mengajarinya keberanian untuk tidur menggantikan Rasulullah di saat teror pembunuhan mengepung kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berlari-lari menyusur padang pasir sejauh 400 km untuk hijrah seorang diri dalam kejaran musuh. Ceria mengajarinya berolok-olok pada Amir bin Abdu Wuud, jagoan Quraisy yang menantang perang tanding dalam peristiwa Khandaq. Dan saat tubuh yang besarnya dua kali lipat dirinya itu jatuh terbelah, kaum muslimin pun bertakbir gembira. Dan ia, tetap ceria. Ceria mengajarinya untuk asyik belajar, maka ia menjadi pintu kota ilmu. Ceria -saat sakit mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khaibar, maka jadilah ia pemegang panji yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan RasulNya.
Abu Dujanah memang congkak, tapi ia bingkai kecongkakannya dalam jihad menghadapi musuh-musuh Allah sehingga ia mulia dengan kecongkakannya. Ikat kepala merah, langkah yang angkuh, jalan yang penuh gaya, membuat Rasulullah berkomentar, “Allah membenci yang seperti ini kecuali dalam peperangan di jalanNya!”. Akhirnya, Abu Dujanah meraih kemulian yang ia nantikan, sambutan bidadari surga.
Ada Abu Ubaidah kepercayaan umat ini. Seperti apa orangnya? Rapi jali! Pandai mengadministrasi, cerdas dan adil. Sangat dipercaya, sampai orang-orang Romawi yang beragama Nashrani merindukannanya. Sangat dipercaya, sampai Umar kehabisan akal untuk memintanya keluar dari kota berwabah. Sangat dipercaya, maka begitu sulit mencari penggantinya mengurus Baitul Maal. Ada Az Zubair hawari Rasulullah. Sebuah potret kesetiaan. Dan Thalhah yang perwira, perisai hidup Rasulullah yang di tubuhnya ada tujuh puluh sayatan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah ia, kata Rasulullah, seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi.
Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Ada Khalid, pedang Allah yang senantiasa terhunus. Maka sering, dengan kudanya ia membelah barisan musuh sendiri. Ia pedang Allah, maka tiga belas pedang patah di tangannya pada perang Mu’tah. Ia pedang Allah, yang memang hanya hafal sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan menjadi saksi dihadapan Allah, meski ia mati di ranjang. Ada Hudzaifah, pemegang rahasia-rahasia Rasulullah. Maka ialah intelejen paling gemilang dalam sejarah, yang duduk di hadapan Abu Sofyan, pemimpin musuh. Maka ketika pada Rasulullah manusia bertanya tentang amal-amal yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku-laku yang harus dijauhi. Ia, manusia yang lisannya tak bisa dipaksa berbicara, meski oleh Umar sahabatnya. Ia, pemegang rahasia-rahasia.
Ada lagi yang agung dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada, Ja’far pemilik dua sayap yang terbang kian kemari di surga, Abdullah bin Rawahah yang ranjangnya terbang menghadap Rabbnya. Sa’ad bin Mu’adz yang kenaikan ruhnya membuat ‘Arsyi Allah berguncang, dan Hanzhalah yang dimandikan malaikat.
Ada yang mulia dengan perbuatannya. Usaid bin Hudhair yang tilawahnya didengarkan malaikat, Ibnu Mas’ud yang qiraatnya seperti saat Al-Qur’an diturunkan, Abdurahman bin Auf yang diberkahi dalam shadaqah dan simpanannya, keluarga Abu Thalhah yang membuat Allah takjub, dan Ukasyah yang ingin bersentuh kulit dunia akhirat dengan Rasulullah.
Ada yang pernah berbuat dosa, tapi ia jujur! Ma'iz mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rasulullah mengatakan, "Jika taubatnya dibagi untuk seluruh penduduk Madinah, niscaya mencukupi bagi mereka."
Mereka, manusia-manusia biasa yang istiqamah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Kecenderungan-kecenderungan memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna. Ada canda yang mereka lakukan, sampai saling lempar semangka suatu ketika. Tapi periwayat hadits ini berkomentar, “Mereka adalah laki-laki dalam urusan-urusannya!” Ya, mereka tahu kapan saatnya lempar semangka, dan kapan saatnya lempar lembing untuk menegakkan agama Allah.
Alangkah indah hari-hari mereka. Mari kita berdoa, sebagai orang-orang yang datang sesudah mereka...
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr 10)
Menjadi muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Allah mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta, rahmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi yang memancarkan celupan warna Ilahi, wahai Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang..
(Dikutip dari buku, “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”, Salim A. Fillah, dengan sedikit perubahan)
Terima kasih atas infonya, salam kenal