Posted by media itsar | Posted in SMP 2 (KRM MIftahul Huda)
Lagu EdCoustic dengan judul Nantikanku di Batas Waktu mengalun indah. Inilah nasyid cengeng terakhir yang masih tersimpan di mp3 laptop milikku. Aku tak bisa menghapus lagu ini. Karena lagu ini begitu menyimpan berjuta kenangan. Kenangan masa SMAku.
Namaku Ridwan Hanafi. Besok skripsiku akan diuji. Sebantar lagi sekolahku selesai. Sudah ada perusahaan yang mau memperkerjakanku. Pikiran untuk melenggang ke pelaminan sudah jadi prioritasku selanjutnya. Aku tak tahu pasti apakah aku salah atau tidak. Namun, dialah yang terbayang pertama kali dalam benakku. Tak ada wanita lain.
***
“Selamat ya akh. Hebat benar. Skripsimu dapet A.” Sahut Rifki, sobat karibku. Sidangnya sudah seminggu yang lalu. Hanya saja, belum ada perusahaan yang mau memperkerjakannya.
“Terima kasih akh.”
“Pekerjaan sudah dapat. Wisuda tinggal menunggu waktu. Kapan kau beri aku saudara ipar?”
“Doakan saja akh. Atau... bisakah kau carikan buatku?”
“Jujurlah kau padaku. Hati terdalammu masih menyimpan harap pada Gina bukan? Mengapa tak langsung saja kau lamar dia lewat kakaknya. Kau kenal Kang Reza bukan?”
Ya. Namanya Gina. Ayahnya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu. Dan kini walinya memang kakak semata wayangnya Reza.
“Apakah boleh macam itu akh?”
“Apa yang salah dengan meminang gadis yang kau sukai? Tak ada yang salah dengan itu. Yang tidak boleh adalah mendekati zina. Kau lakukan ini untuk menjauhi zina. Terutama zina hati akh. Sudah berapa tahun kau terus mengharapkannya?”
“Kau punya nomor Kang Reza?”
“Punya. Subhanallah. Cepat kau lamar dia ya.”
***
“Ridwan khan? Ketua rohis kelas 2-7.”
“Iya.”
Aku tak heran kenapa dia bisa tahu. Karena aku memang salah satu petinggi di lembaga dakwah di sekolahku.
“Tolong bagikan buletin ini ya sama temen-temen sekelasnya. Jazzakallah.”
Dapat kutebak. Dia dari direktorat buletin. Mulai saat itu aku terkesima dengannya. Tapi bukan itu yang membuat aku masih mengharapnya sampai saat ini.
“Gila, ni buletin berani banget.” Kata Denis teman sebangkuku.
“Gila gimana maksudnya Den?” Sejujurnya aku sendiri pun belum membaca buletin yang tadi kubagikan.
“Analisisnya tajem banget. Kayak bukan tulisan anak SMA.”
Aku pun akhirnya membacanya. Tulisannya begitu mempesona. Meski cenderung kontroversial, namun analisisnya tajam luar biasa. Seperti yang tlah dikatakan Denis. Ku baca nama penulisnya. Kania Fatnigina.
***
Hari itu aku rapat direktorat yang kupimpin. Direktorat eksternal.
Seusai rapat...
“Dew, Kania Fatnigina itu yang mana ya?”
“Gina. Direktorat buletin. Kenapa githu Rid?”
“Yang mana orangnya?”
Dewi pun menyebutkan ciri-ciri yang sama persis dengan orang yang mengantar buletin kekelasku.
Gina ya...
***
Hari itu adalah hari Selasa. Hari dimana biasanya Gina membagikan buletin ke kelas-kelas. Satu-satunya kesempatan aku dapat bertemu dengannya.
“Ridwan, bisa minta tolong seperti biasa?”
“Pasti. Gina, tulisan kamu bagus.”
“Darimana kamu tahu nama aku?”
“Nggak penting. Yang pasti aku suka tulisan kamu.”
“Terima kasih. Tapi kamu nggak usah ngeremes-remes buletin aku kayak githu.”
Ups!
***
Sejak saat itu, aku semakin tak bisa menghapus bayangnya dari benakku. Semakin hari aku semakin berani. Setelah mengungkapkan kalau aku suka tulisannya. Kini aku berusaha mencari tahu banyak hal tentang dirinya. Tak heran pikirannya begitu mewah. Dia adalah adik dari Kang Reza yang kini menjabat presiden mahasiswa universitas ternama.
Semakin hari hati ini semakin tertawan olehnya. Tak bisa ku jaga lagi. Hatiku sudah bukan lagi milikku. Sudah jadi miliknya utuh seluruh.
Yang tak bisa aku mengerti adalah sahabat-sahabatku tahu soal ini.
“Rid, ada sebuah lagu yang pas banget ama keadaan antum saat ini.”
Lagu itu adalah lagu Nantikan ku di Batas Waktu.
***
Setelah sebulan lebih berpikir. Akhirnya kuberanikan diri juga menghubungi Kang Reza.
“Kang Reza. Masih inget Ridwan?”
“Iya. Ada apa Wan, kok tumben?”
“Saya ada perlu sama akang. Bisa ke rumah akang sekarang?”
“Kebetulan nanti ba’da ashar Fajar mau kesini. Palingan ba’da maghrib aja ya Rid.”
Fajar adalah nama kakak kelasku. Mentorku selama di SMA. Dan dia tahu betul perasaanku pada Gina.
“Baik Kang.”
***
“Maksud kedatangan saya kesini... adalah... untuk... untuk...”
“Untuk apa Wan?”
“Untuk melamar adik akang. Gina.”
Kang Reza menghela nafasnya. Aku jadi takut setengah mati. Apa dia akan menolakku. Karena aku belum mapan sama sekali.
“Akang hargai maksud baik kamu. Tapi baru saja akang menerima lamaran dari Fajar.”
Aku bagai tersambar petir di siang bolong. Inginnya diri ini tak percaya dengan semuanya. Aku kalah cepat dengan mentorku sendiri. Seseorang yang tahu persis perasaanku pada Gina.
***
“Ridwan, ada yang nyari kamu tuh di luar.” Sahut Abri salah satu temanku.
Ada yang mencariku? Siapa?
“Siapa Ab?”
“Aku nggak kenal. Akhwat.”
Akhwat? Aku jadi semakin penasaran. Aku segera berlari ke luar.
Gina?
***
“Ehm... selamat ya. Kamu ama Kang Fajar.”
“Makasih. Ehm... nggak usah banyak basa-basi, aku cuman mau ngasih ini ama kamu.”
“Apa ini?”
“Kamu bisa baca nanti.”
Gina beranjak pergi.
***
Aku tak tahu surat ini salah atau tidak. Yang pasti aku hanya pesan satu hal. Setelah kau baca surat ini, bakarlah.
Semuanya dimulai saat kau berdiri dengan gagahnya didepan kelasmu. Aku memanggilmu dan menitipkan buletin padamu. Semoga kau masih ingat. Sejak saat itulah, harap ini mulai tumbuh. Harapan tentang akan sebuah masa depan. Saat itu aku hanyalah seorang anak SMA yang hanya berani berharap tak lebih.
Ketika kau memuji tulisanku. Aku terbang luar biasa. Banyak yang tlah memuji tulisanku, dengan pujian yang mungkin jauh lebih tinggi. Tapi, karena pujian itu datang dari mulutmu, hal ini terdengar lain. Kesalahtingkahan yang waktu itu kau tunjukan semakin membuatku yakin akan harapku ini.
Harap ini tak pernah luntur sampai sebulan yang lalu Kang Fajar datang dan melamarku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun minta waktu satu bulan untuk berpikir. Berpikir mencari alasan untuk menolaknya. Namun, tak kutemukan. Kita pun sudah lagi tak berhubungan. Sesuatu yang bodoh jika aku, hanya bermodal harap ini, menolak lamarannya.
Aku hanya ingin kau tahu tentang hal ini. Terimakasih atas segala kenangan indah yang pernah kau beri.
***
Kubakar surat itu.
Kuhapus satu-satunya lagu cengeng yang masih ada di mp3 laptopku, Nantikan ku di Batas Waktu. Dan ku kan berusaha hapuskan semua kenangan tentang dirinya.
Akhir harap ini tak selalu indah seperti kisah Ali dan Fatimah.
Terinspirasi dari emailnya Araf, artikel yang dikasih alamatnya ma Taufiq, kisahnya Nuni, Fitra dan Echi.
Namaku Ridwan Hanafi. Besok skripsiku akan diuji. Sebantar lagi sekolahku selesai. Sudah ada perusahaan yang mau memperkerjakanku. Pikiran untuk melenggang ke pelaminan sudah jadi prioritasku selanjutnya. Aku tak tahu pasti apakah aku salah atau tidak. Namun, dialah yang terbayang pertama kali dalam benakku. Tak ada wanita lain.
***
“Selamat ya akh. Hebat benar. Skripsimu dapet A.” Sahut Rifki, sobat karibku. Sidangnya sudah seminggu yang lalu. Hanya saja, belum ada perusahaan yang mau memperkerjakannya.
“Terima kasih akh.”
“Pekerjaan sudah dapat. Wisuda tinggal menunggu waktu. Kapan kau beri aku saudara ipar?”
“Doakan saja akh. Atau... bisakah kau carikan buatku?”
“Jujurlah kau padaku. Hati terdalammu masih menyimpan harap pada Gina bukan? Mengapa tak langsung saja kau lamar dia lewat kakaknya. Kau kenal Kang Reza bukan?”
Ya. Namanya Gina. Ayahnya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu. Dan kini walinya memang kakak semata wayangnya Reza.
“Apakah boleh macam itu akh?”
“Apa yang salah dengan meminang gadis yang kau sukai? Tak ada yang salah dengan itu. Yang tidak boleh adalah mendekati zina. Kau lakukan ini untuk menjauhi zina. Terutama zina hati akh. Sudah berapa tahun kau terus mengharapkannya?”
“Kau punya nomor Kang Reza?”
“Punya. Subhanallah. Cepat kau lamar dia ya.”
***
“Ridwan khan? Ketua rohis kelas 2-7.”
“Iya.”
Aku tak heran kenapa dia bisa tahu. Karena aku memang salah satu petinggi di lembaga dakwah di sekolahku.
“Tolong bagikan buletin ini ya sama temen-temen sekelasnya. Jazzakallah.”
Dapat kutebak. Dia dari direktorat buletin. Mulai saat itu aku terkesima dengannya. Tapi bukan itu yang membuat aku masih mengharapnya sampai saat ini.
“Gila, ni buletin berani banget.” Kata Denis teman sebangkuku.
“Gila gimana maksudnya Den?” Sejujurnya aku sendiri pun belum membaca buletin yang tadi kubagikan.
“Analisisnya tajem banget. Kayak bukan tulisan anak SMA.”
Aku pun akhirnya membacanya. Tulisannya begitu mempesona. Meski cenderung kontroversial, namun analisisnya tajam luar biasa. Seperti yang tlah dikatakan Denis. Ku baca nama penulisnya. Kania Fatnigina.
***
Hari itu aku rapat direktorat yang kupimpin. Direktorat eksternal.
Seusai rapat...
“Dew, Kania Fatnigina itu yang mana ya?”
“Gina. Direktorat buletin. Kenapa githu Rid?”
“Yang mana orangnya?”
Dewi pun menyebutkan ciri-ciri yang sama persis dengan orang yang mengantar buletin kekelasku.
Gina ya...
***
Hari itu adalah hari Selasa. Hari dimana biasanya Gina membagikan buletin ke kelas-kelas. Satu-satunya kesempatan aku dapat bertemu dengannya.
“Ridwan, bisa minta tolong seperti biasa?”
“Pasti. Gina, tulisan kamu bagus.”
“Darimana kamu tahu nama aku?”
“Nggak penting. Yang pasti aku suka tulisan kamu.”
“Terima kasih. Tapi kamu nggak usah ngeremes-remes buletin aku kayak githu.”
Ups!
***
Sejak saat itu, aku semakin tak bisa menghapus bayangnya dari benakku. Semakin hari aku semakin berani. Setelah mengungkapkan kalau aku suka tulisannya. Kini aku berusaha mencari tahu banyak hal tentang dirinya. Tak heran pikirannya begitu mewah. Dia adalah adik dari Kang Reza yang kini menjabat presiden mahasiswa universitas ternama.
Semakin hari hati ini semakin tertawan olehnya. Tak bisa ku jaga lagi. Hatiku sudah bukan lagi milikku. Sudah jadi miliknya utuh seluruh.
Yang tak bisa aku mengerti adalah sahabat-sahabatku tahu soal ini.
“Rid, ada sebuah lagu yang pas banget ama keadaan antum saat ini.”
Lagu itu adalah lagu Nantikan ku di Batas Waktu.
***
Setelah sebulan lebih berpikir. Akhirnya kuberanikan diri juga menghubungi Kang Reza.
“Kang Reza. Masih inget Ridwan?”
“Iya. Ada apa Wan, kok tumben?”
“Saya ada perlu sama akang. Bisa ke rumah akang sekarang?”
“Kebetulan nanti ba’da ashar Fajar mau kesini. Palingan ba’da maghrib aja ya Rid.”
Fajar adalah nama kakak kelasku. Mentorku selama di SMA. Dan dia tahu betul perasaanku pada Gina.
“Baik Kang.”
***
“Maksud kedatangan saya kesini... adalah... untuk... untuk...”
“Untuk apa Wan?”
“Untuk melamar adik akang. Gina.”
Kang Reza menghela nafasnya. Aku jadi takut setengah mati. Apa dia akan menolakku. Karena aku belum mapan sama sekali.
“Akang hargai maksud baik kamu. Tapi baru saja akang menerima lamaran dari Fajar.”
Aku bagai tersambar petir di siang bolong. Inginnya diri ini tak percaya dengan semuanya. Aku kalah cepat dengan mentorku sendiri. Seseorang yang tahu persis perasaanku pada Gina.
***
“Ridwan, ada yang nyari kamu tuh di luar.” Sahut Abri salah satu temanku.
Ada yang mencariku? Siapa?
“Siapa Ab?”
“Aku nggak kenal. Akhwat.”
Akhwat? Aku jadi semakin penasaran. Aku segera berlari ke luar.
Gina?
***
“Ehm... selamat ya. Kamu ama Kang Fajar.”
“Makasih. Ehm... nggak usah banyak basa-basi, aku cuman mau ngasih ini ama kamu.”
“Apa ini?”
“Kamu bisa baca nanti.”
Gina beranjak pergi.
***
Aku tak tahu surat ini salah atau tidak. Yang pasti aku hanya pesan satu hal. Setelah kau baca surat ini, bakarlah.
Semuanya dimulai saat kau berdiri dengan gagahnya didepan kelasmu. Aku memanggilmu dan menitipkan buletin padamu. Semoga kau masih ingat. Sejak saat itulah, harap ini mulai tumbuh. Harapan tentang akan sebuah masa depan. Saat itu aku hanyalah seorang anak SMA yang hanya berani berharap tak lebih.
Ketika kau memuji tulisanku. Aku terbang luar biasa. Banyak yang tlah memuji tulisanku, dengan pujian yang mungkin jauh lebih tinggi. Tapi, karena pujian itu datang dari mulutmu, hal ini terdengar lain. Kesalahtingkahan yang waktu itu kau tunjukan semakin membuatku yakin akan harapku ini.
Harap ini tak pernah luntur sampai sebulan yang lalu Kang Fajar datang dan melamarku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun minta waktu satu bulan untuk berpikir. Berpikir mencari alasan untuk menolaknya. Namun, tak kutemukan. Kita pun sudah lagi tak berhubungan. Sesuatu yang bodoh jika aku, hanya bermodal harap ini, menolak lamarannya.
Aku hanya ingin kau tahu tentang hal ini. Terimakasih atas segala kenangan indah yang pernah kau beri.
***
Kubakar surat itu.
Kuhapus satu-satunya lagu cengeng yang masih ada di mp3 laptopku, Nantikan ku di Batas Waktu. Dan ku kan berusaha hapuskan semua kenangan tentang dirinya.
Akhir harap ini tak selalu indah seperti kisah Ali dan Fatimah.
Terinspirasi dari emailnya Araf, artikel yang dikasih alamatnya ma Taufiq, kisahnya Nuni, Fitra dan Echi.
Comments (0)
Posting Komentar
Berikan komentar anda disini JIKA Facebook Comment System tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pada pilihan [Beri komentar sebagai] Pilih "Name/Url" jika ingin berkomentar dengan mencantumkan nama anda.