Posted by media itsar | Posted in SMP 11 (Kamus 11)
“Hha.. hha.. hha..” suara tawaku terdengar jelas dalam ruangan yang mungil, yaitu sebuah ruang tamu di rumah ibuku. Dengan spontan kakak, adik dan ibuku melongo melihat diriku.
“Ih.. GJ (ga jelas)!” kata adikku.
Aku tak menghiraukan perkataan adikku. Karena aku masih terpaku pada buku yang sedang asyik ku baca. Setelah selesai kubaca salah satu artikel dlm buku itu, aku terinspirasi untuk berbagi cerita kepada teman-teman. Begono ceritanyo:
***
Ada dua orang psikolog dari Princeton University, John Darley dan Daniel Batson menguji para siswa terbaik dari Princeton Theology Seminary. Konon, seminari ini dikenal sukses menghasilkan para gembala (da’i dlm arti Kristen) yang sangat berkarakter, welas asih dan penuh kasih saying pada jemaatnya.
Para siswa terbaik itu diminta untuk mempersiapkan sebuah khotbah Injil tentang ‘Orang Samaria yang Baik’. Ini kisah dalam Bibel Lukas tentang seseorang yang dirampok, dipukuli, dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat di pinggir jalan antara Jerussalem dan Jericho. Saat seorang imam dan seorang Levi (dua manusia dari kelompok ‘terhormat’) lewat, alih-alih behenti, eh.. mereka justru berusaha menjauh dan pura-pura tak tahu. Justru, seorang Samaria (suku yang dianggap berkasta rendah, berperilaku hina, dan minoritas dalam tradisi Israel) yang malah mendatangi dan merawat luka-lukanya. Kisah inilah yang kudu dihayati sebelum khotbah.
Setelah itu, para siswa seminari harus menuju ke sebuah aula untuk menkhotbahkan materi yang disiapkannya. Di jalan menuju aula, mereka akan bertemu dengan orang yang merintih kesakitan dan perlu ditolong (keadaan ini sudah disiapkan oleh panitia). Pertanyaannya, siapa di antara para siswa seminari itu yang akan menolong (layaknya seorang Samaria menolong orang yang sedang kesakitan)?
Dalam wawancara beberapa waktu sebelumnya, Darley dan Batson telah menyisipkan 30 variabel agar hasilnya shahih. Para siswa itu telah dinilai karakternya dengan melihat persepsi mereka tentang tujuan belajar seminari, makna agama bagi kehidupan mereka, dan hal-hal lain yang sangat mendetail. Nah, apakah mereka yang dalam kesehariannya dikenal komitmen dalam memenuhi kaul, akan lebih tergerak untuk menolong?
Hasil penelitian Darley dan Batson menunjukkan bahwa semua itu tak ada kaitannya. Hubungannya justru dengan konteks sedang tergesa-gesa atau tidak. Mereka yang dilepas berangkat ke aula dengan kata-kata, “Wah anda terlambat. Mereka pasti sudah lama menunggu Anda!”, mereka memilih untuk bergegas tanpa peduli sedikit pun terhadap orang yang sedang menderita di jalan. Sedangkan para siswa yang dilepas dengan kata-kata, “Kelihatannya mereka masih harus bersiap-siap untuk mendengarkan khotbah Anda. Tapi tak ada salahnya kalau Anda berangkat sekarang.”, mereka menjadi lebih berbeda rasa dan lebih peduli terhadap orang yang menderita di pinggir jalan sebelum menuju aula.
***
Ada sebuah benang emas yang bisa aku tarik kesimpulannya. Yaitu,akhlak=kebiasaan=reaksi cepat tanpa pikir=spontanitas.
So guys, jika tadi terjadi pada para gembala, bagaimana jika ‘testing’ tadi di uji cobakan kepada para kader da’wah. Mungkin bisa dicoba pada saat pelantikan pengurus, atau Moslem Camp, bahkan saat Tafakur Alam.
Selamat mencoba. (^__^)
Comments (0)
Posting Komentar
Berikan komentar anda disini JIKA Facebook Comment System tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pada pilihan [Beri komentar sebagai] Pilih "Name/Url" jika ingin berkomentar dengan mencantumkan nama anda.