Ghazi Azhari Daffa Az-zharif: Lalu Untuk Apa Tinta Hikmah Digoreskan?

Posted by media itsar | Posted in


Satu lagi tulisan yang dibuat dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh tangan dan hati ini. Digoreskan atas segala evaluasi diri yang masih jauh, jauh sekali dari kondisi yang ideal selaku seorang Muslim. Yang mana perbuatan-perbuatan kita khususnya diri ini masih hanya sekedar pebuatan-perbuatan anggota-anggota tubuh belaka, bukan perbuatan hati. Terang saja karena hati yang seharusnya digunakan untuk melakukan segala aktivitas ini telah ternodai oleh hasrat-hasrat kotor yang tentu bukan ditujukkan kepada Dzat Yang Maha Suci, Allahu Al-Kariim.


Tentu banyak, pribadi-pribadi Muslim yang telah menyadari bahwa kewajiban untuk menyeru kepada yang ma’ruf harus selalu dilakukan oleh setiap Muslim sebagai pekerjaan utamanya di dunia. Dan tentu banyak, Muslim-muslim yang menyadari bahwa dakwah lewat media seperti tulisan, artikel, bulletin, majalah, feature dll. Adalah sebuah metoda yang mudah dan aman dari segala resiko berdakwah. Merasakan bahwa kita terjauh dari ria dan penyakit hati karena tentu dakwah lewat tulisan tidak seperti berdakwah lewat lisan, yang harus bertemu objek-objek dakwah yang kita tuju tentu sudah dirasakan oleh banyak Muslim, khususnya para penulis. Merasakan bahwa kita jauh dari dosa-dosa lidah, penyakit-penyakit lisan, banyak berkata-kata, melakukan obrolan yang sia-sia, melakukan omongan yang tidak kita kerjakan, pun telah dirasakan oleh hati tiap-tiap penulis.

Namun ada hal yang harus disadari, sahabat. Dengan menulis, sesungguhnya kita hanya memindahkan alat penyampaian kita dari mulut menuju jemari yang berada pada tangan kita. Betapa buruknya tangan kita ketika kita ‘berkata-kata’ lewat jemari ini dengan kata-kata yang tidak sesuai dengan hati dan perbuatan kita.

Menulis juga adalah sebuah kata-kata. Yang seharusnya bermuara pada hati dan dikatakan lewat indera yang kita miliki. Toh, dengan jemari kita juga bisa leluasa mengghibahi orang, dengan jemari kita bisa memfitnah orang, dengan jemari kita bisa menjatuhkan derajat seseorang, dan dengan jemari, kita juga bisa mengkatakan apa yang tidak sesuai dengan hati dan perbuatan kita.

Apakah kita mau mencoba lari dari ayat Allah yang berbunyi

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. As-shaff : 2-3)



Ingat, sekali lagi menulis juga adalah kata-kata hati. Mau mencoba mengotori hati kita dengan jemari kita? Mau mencoba menodai jernihnya hati kita sedikit demi sedikit dengan hitamnya debu yang pada ujungnya akan menghijabi hati kita dengan Allah? Tentu jawaban kita adalah “Tidak!”
Tapi mengapa kita masih ‘mengatakan’ sesuatu yang belum sepatutnya kita katakan lewat jemari kita karena sesuatu itu masih belum bisa kita kerjakan.

Sahabat, tentunya kita harus berhati-hati. Karena anggapan awal di satu sisi yang mengatakan dakwah lewat media khususnya tulisan adalah sebuah hal yang mudah dan jauh dari resiko berdakwah, sesungguhnya di sisi lain kita malah menambah kesempatan berbuat dosa kita yang asalnya hanya lewat mulut dan lisan kita, sekarang bertambah lewat jemari-jemari yang senantiasa menari untuk menggoreskan tinta hikmah yang tak bosannya kita katakan.

Lalu untuk apa tinta hikmah digoreskan..? Banyak diantara kita, yang masih keliru dengan tujuan dan terjerumus karena ketidak hati-hatian hati. Tulisan-tulisan yang kita produksi tak ayalnya hanya seperti perkataan-perkataan mulut yang indah untuk meyakinkan bahwa ilmu yang kita miliki jauh lebih tinggi dari ilmu yang orang lain miliki? (Naudzubillahi min dzaalik) bukankah Allah yang Maha memiliki segala ilmu, yang menguasai otak dan hati kita untuk berpikir dan merasa.

Sekali lagi hati-hati, sahabat. Pada kesempatan lain, seringkali menulis kita lakukan hanya untuk membentengi dosa-dosa dan aib-aib yang kita perbuat. Misal kita menulis tentang kegiatan berekonomi yang jujur, semata-mata hanya untuk meyakinkan masa agar perniagaan yang kita lakukan penuh dengan kejujuran dan kebersihan, padahal realitanya kita masih memberatkan timbangan, menekan harga, menipu orang, berlaku riba, dan berbagai dosa lain yang kita sembunyikan di balik kedok sebuah tulisan.

Atau kita menulis tentang hijab, kita menjelaskan bahwa sebagai umat muslim harus begini dan begitu kepada lawan jenisnya, tapi apa yang kita lakukan… Kita masih hangat bercengkrama dengan lawan jenis kita, kita masih sibuk mengurusi seseorang yang bukan hak kita, kita masih melakukan hal-hal yang dilarang oleh tulisan-tulisan yang kita buat sendiri. Kita masih mendustai hikmah yang kita temui yang setelahnya kita racik menjadi untaian tinta hikmah yang indah, namun terdustakan.

Sahabat, ada sebuah teladan baik dilakukan oleh sahabat-sahabat di masa lampau. Aktivitas saat mereka giat, semangat menjadi pemelihara ayat-ayat Allah dengan menghapalkan Al-qurannya. Tak seperti para huffazh pada masa kini, yang bisa menghapal 1 lembar perhari, sahabat-sahabat pada masa itu hanya menghapal paling banyak 10 ayat dalam jangka waktu yang tak tentu. Mengapa demikian? Apakah kekuatan iman sahabat-sahabat terdahulu tidak jauh lebih kuat dari para huffazh sekarang..? tentu bukan itu alasannya. Justru karena iman mereka yang amatlah kuat, yang senantiasa ditempa langsung oleh Rasulullah SAW. mereka hanya menghapal 10 ayat saja dalam jangka waktu yang tak tentu. Mengapa, karena mereka selalu berusaha untuk mengamalkan ayat-ayat yang telah mereka tanggung dalam hati untuk dilakukan menjadi buah amal yang senantiasa mereka berikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya.

Istiqamah untuk mengamalkan apa-apa yang telah mereka dapatkan sebagai sebuah ilmu, hikmah, ‘ibrah, pelajaran, itu semua yang membuat mereka tak kuasa untuk beralih pada 10 ayat berikutnya untuk mereka hapalkan sebelum 10 ayat sebelumnya mereka amalkan. Bukankah ini sebuah teladan yang baik untuk kita, khususnya bagi seorang penulis.

Lakukanlah sesuatu sebelum kau tulis/katakan sesuatu itu.
Mungkin itu ungkapan kesimpulan yang tepat yang harus diberikan pada kita sekarang. Menjadi seorang yang benar-benar dapat melakukan A sebelum menasehati seseorang untuk berbuat A, yang dapat memahami B sebelum memahamkan orang lain tentang segala sesuatu menenai B, yang merasa dirinya terancam oleh C sebelum memberi ancaman kepada orang lain dengan C dan yang mendapatkan dan mengerjakan hikmah, sebelum menebar hikmah pada orang lain yang haus akannya.

Akhir kata, sahabat takutlah kita ketika kita belum dapat berniaga secara bersih sebelum menasehati orang lain untuk berniaga secara baik, benar dan halal. Takutlah kita ketika kita belum dapat beramal baik, sebelum kita menasihati orang lain untuk beramal baik. Takutlah kita ketika kita masih belum dapat berendah hati, sebelum memerintahkan dan mengancam orang lain yang tinggi hati..

Namun… janganlah takut untuk menulis dan berkata, karena banyak hikmah yang muncul dari keberanian kita, banyak pelajaran dan ‘ibrah yang bisa kita ambil dari kesalahan yang kita perbuat. Dan ingatlah, sertai pertaubatan diantara kesalahan kita, sebagai pembersih hati agar tak terhijabi dengan noda yang senantiasa kita tumpuk di atas kejernihannya, untuk selalu terbuka.. menerima cahaya Allah.




Dengan segala kekurangan,
Ghazi Azhari S
Bandung, 08 Maret 2010 (12:45)


Anda juga mungkin suka tulisan ini



Widget by Hoctro | Jack Book