Yashfy Ziyanulhaq: Catatan Perjalanan Seorang Dokter Indonesia di Gaza#3 ~ El Arish, Kota Perlintasan Para Nabi

Posted by media itsar | Posted in

Bismillaahirrahmaanirrahiim


Tulisan ini adalah kisah nyata dari seorang dokter dari Bandung, Dr.Dadang Rukanta yang tergabung direlawan Tim Bulan Sabit Merah Indonesia saat beliau mengunjungi Gaza Januari-Februari 2009. Hari ini tepat setahun Israel menggempur Gaza melalui darat, laut dan udara dalam operasi "Cast Lead" yang menggemparkan dunia itu. Semoga ada hikmah yang bisa kita petik

Catatan sebelumnya: http://www.facebook.com/note.php?note_id=291722607917

El Arish, Kota Perlintasan Para Nabi


Perjalanan panjang terasa saat menuju kota El Aris sekitar 400 km. karena perjalannya menyusuri jalan panjang berdebu padang pasir gurun Sinai, jadi terasa membosankan, kebanyakan dari kami mulai tertidur, padahal perjalanan dengan kecepatan 120 km per jam, tapi masih saja terasa biasa karena jalan yang lurus dan tidak ada pemandangan yang bisa dilihat. Untuk melepas penat kami sempat berhenti untuk shalat dzuhur di satu café sekitar 100 km sebelum Raafah. Kami hanya shalat dan minum teh dan tidak sempat makan karena masih kenyang dengan bekal yang dibawa dan juga makin tidak sabar untuk segera sampai di Raafah.


Sekitar lima jam perjalanan melelahkan terasa sirna begitu sampai kota El Aris yang ada dipinggir pantai Laut Tengah/Mediterania. Laut tampak biru indah, menenangkan. Bagi orang yang berdomisili di Timur Tengah, laut selalu menenangkan. Apalagi bagi kami yang dari tadi hanya melihat hamparan pasir gurun Sinai, dan yang pasti karena kami tahu sekitar setengah jam lagi kami akan sampai di tempat yang beberapa hari yang lalu hanya berita di televisi. Euforia ini yang membuat kami semakin semangat, sehingga menghilangkan kelelahan perjalanan panjang menuju Raafah.



Setiba di Raafah sekitar pukul dua siang, kami turun meninjau lokasi, tim yang dipimpin Kang Aji langsung menuju Border untuk mengurus administrasi masuk, yang lain berjalan sekitar perbatasan melemaskan otot. Beberapa mengambil foto tempat yang menjadi bahan pemberitaan ini. Tampak antrian kendaraan pengangkut bantuan berjejer panjang parkir di tepi jalan. Dekat gerbang perbatasan bergerombol para relawan yang memohon masuk dan menunggu dengan was-was, karena segalanya serba tidak pasti. Kami bertemu dengan relawan dari Negara lain ada yang sudah menunggu dua hari ,tiga hari bahkan lebih tanpa tahu dengan alasan apa. Konon katanya menunggu klarifikasi dari Kairo tentang ijin masuk tadi. Tapi juga ada faktor lain yang kami sulit mengerti, karena bisa saja masuk di gerbang pertama, gagal di gerbang kedua dan terpaksa balik lagi. Kami juga bertemu degan rekan relawan dari Negara lain yang pernah bertugas sama-sama di beberapa kejadian bencana. Saya bertemu Prof.iqbal Khan dari Pakistan, seorang ahli bedah yang tawadhu beliau sudah dua hari menunggu, saya juga bertemu dengan Ikhwan dari Malaysia Cik Rahman dan kawan-kawan dari Global peace dan NGO Aman Malaysia. Suasana seperti reuni dan saling bertukar cerita akan rumit dan tidak pastinya bisa melewati gerbang Raafah.


Kami menunggu, ikhwan Aji dan kawan-kawan yang mencoba melobi petugas pebatasan di dalam. Sambil menunggu kami berjalan sekeliling melihat lihat jauh ke seberang sana, Negara Israel dan Gaza. Raafah sebenarnya ujung jalan raya yang dibangunkan Gerbang besar di dua jalan besar, jalan masuk dan keluar. Di dalam bangunan seluas sekitar dua hektar itu terparkir beberapa ambulan dan kendaraan bantuan yang belum masuk Gaza. Setelah itu baru wilayah imigrasi Palestina, yang memang tida tampak dari tempat kami menunggu. Sebelah kiri gerbang kami tahu itu pinggiran kota Raafah yang konon banyak terowongan tempat menyelundupkan barang-barang ke Gaza, di tempat ini dari ketinggian kita dapat melihat kota Gaza dan Wilayah perbatasan Gaza Israel yang sering terjadi baku tembak. Saat itu kami tidak mendengar adanya baku tembak, yang terdengar hanya teriakan orang Arab dan petugas gerbang yang sering adu urat karena urusan lewat perbatasan ini.



Adzan Ashar terdengar di mushala café dekat gerbang, dan kami masih belum ada kepastian, menunggu dan menunggu. Barang-barang belum kami turunkan. Lepas jam 4 yang merupakan batas tutup kantor, kami belum juga bisa lewat perbatasan. Menurut Ketua Tim Kang Aji, mungkin karena waktu kami sempit menjelang tutup perbatasan. Untuk itu kami putuskan menginap di El Aris dan kembali keesokan harinya. Dari pengalaman tadi Pak Ketua BSMI Dr.Basuki yang tadi masuk bersama ketua tim Kairo Kang Aji, menyatakan besok optimis bisa masuk.

Kota El Arish adalah kota kecil dan merupakan kota tua lintasan para Nabi. Dari bangunan dan beberapa area saya bisa melihat El Aris memang kota lama, dengan penduduk yang lebih hangat dibanding Kairo. Di tengah kota cukup hidup dengan masjid dan kedai yang cukup nyaman. Kami makan malam dahulu kemudian shalat Maghrib di jama Qoshar dengan Isya, kemudian baru mencari penginapan. Setelah mencari agak lama akhirnya kami dapat di Sinai Star Hotel. Hotel melati yang cukup sederhana untuk bisa istirahat dan membersihkan diri. Sebelum tidur kami bertukar cerita kajadian tadi siang, dan berdo’a semoga besok bisa masuk dengan lancar mendapat kemudahan dari Allah.



(Bersambung -> Catatan Perjalanan #4)


Anda juga mungkin suka tulisan ini



Widget by Hoctro | Jack Book

Comments (1)

Apapun yang terjadi kita memang harus mensyukuri nya :D

Posting Komentar

Berikan komentar anda disini JIKA Facebook Comment System tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pada pilihan [Beri komentar sebagai] Pilih "Name/Url" jika ingin berkomentar dengan mencantumkan nama anda.